Duka mu... apakah duka ku pula?

Masihkah patut disebut saudara jika tak bisa merasakan pedihnya luka yang menimpa saudaranya yang lain?

Yang sesungguhnya luka yang nampak dari luar tak ada apa-apanya dengan luka hati yang kehilangan orang-orang yang tercinta, tempat tinggal, kelaparan, kehausan dan harus tetap terpenjara dalam ketakutan akan bencana yang kapan saja bisa datang.

Pedih rasanya di saat harus mengucap syukur dikala sudah menemukan jenazah sanak saudara. Pedih... di satu sisi harus tetap mensyukuri atas terjawabnya segala keresahan tentang sanak saudara yang tak jelas kabarnya. Namun, di lain sisi
hati seakan terkoyak harus menerima bahwa telah kehilangan sanak saudara tersebut untuk selamanya dengan cara seperti ini.

Masihkah patut disebut saudara jika bisa makan enak hingga kekenyangan sementara saudaranya yang lain sedang merasa kelaparan di tengah ketakutan?

Yang masih sibuk pilih-pilih mau makan apa dan membuang-buang makanan sementara saudara lainnya harus saling berebut makanan dan rela dikatakan "Buas" untuk dapat bertahan hidup.
Apakah nikmat makanan yg masuk ke dalam perut? sementara saudara yang lain berteriak penuh harap agar dapat makan.

Yang masih bisa merasakan nikmatnya minuman dingin menyegarkan di tengah teriknya matahari. Air yang terbuang-buang, dengan seenaknya menyisakan air di meja makan sementara saudaranya sedang tercekik kehausan.

Bukankah kita sepatutnya saling menguatkan?
Bukankah jika saudara yang merasakan sakit berlebih jika saudaranya yang lain tertimpa bencana? Ibarat satu tubuh, jika anggota tubuh satu yang sakit maka yang lain akan merasakan juga.

Saudaraku... maafkan kami. Duka kalian ternyata tak menjadi duka kami ☹

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yusuf & Zulaikha karya Hakim Nuruddin Abdurrahman Jami

Engkau

Perkawinan Makro